My Widget

Rabu, 18 November 2015

HARUN AR-RASID MEMBANGUN PERADAPAN ISLAM



HARUN AR-RASYID MEMBANGUN UNIVERSALITAS 
PERADAPAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
I.              Latar Belakang
Daulah abbasiyah mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintah harun Ar-Rasyid. Seorang kholifah yang taat dalam beragama, shalih dan dermawan. Hampir bisa disamakan dengan kholifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. Jabatan kholifah tidak membuat beliau terhalang untuk turun jalan-jalan pada malam hari. Dengan tujuan untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya beliau ingin melihat langsung apa yang terjadi pada masyarakat kamudian memberikan bantuan.
Pada masa itu Baghdad menjadi kota besar dengan julukan kota 1.001 malam yang tidak ada tandingannya. Suasana negara yang aman dan begitu damai membuat rakyat menjadi sangat tentram. Bahkan dimasa Harun Ar-Rasyid sangat sulit untuk mencari orang yang akan diberikan zakat, infak, dan sedekah. Karna tingkt kemakmuran penduduknya yang sangat merata.
Kholifah Harun Ar-Rasyid juga banyak memberikan dukungan moral dan materi kepada para cendikiawan untuk melakukan riset dalam ilmu pengetauhan, sehingga kaum cendikiawan tidak merasa kekurangan dalam melakukan sebuah riset yang terus menerus.
2.       Rumusan Masalah
Melihat sebagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai berikut:
A.      Bagai mana biografi Harun Ar-Rasyid?
B.       Apa saja yang dicapai pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid dalam membangun peradapan islam?
C.       Apa saja pilar yang digunakan Harun Ar-Rasyid dalam membangun peradapan islam?
D.      Apa peran Baitul Hikmah dalam membangun sejarah peradapan islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Haarun Ar-Rasyid
Harun Ar-rasyid lahir di Rayy, Iran pada tahun 766, Harun Ar-rasyid adalah khalifah kelima dari kekhalifahan abbasiyah dan memerintah dari tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdikhalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah khalifah yang keempat. Ibunya bernama Jurasyiyah wanita mantan Al-Khayzuran, Beliau sangat memilik pengaruh yang besar terhadap Harun Ar-rasyid.
Meski berasal dari dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga Bermakid dari Persia (Iran). Dimasa mudanya Harun Ar-rasyid banyak belajar dari Yahya Ibn Khalid Al-Barmak, Beliau termasuk salah seorang pendukung setia Jurasyiyah, Ibu dari Harun Ar-rasyid.
Ketika Harun Ar-Rasyid berusia 18 tahun, ia sudah menunjukkan rasa keberaniannya dan keterampilannya sebagai seorang prajurit. Ayahnya saat itu menjadi khalifah islam yang memungkinkan dirinya menjadi salah seorang pasukan melawan musuh-musuh Islam hingga ia memenangkan banyak pertempuran. Dalam kisah 1001 Malam, Harun Ar-rasyid digambarkan sebagai sosok pemuda yang pemberani yang memenangkan banhyak pertempuran.
Ketika Harun Ar-Rasyid memasuki usia remaja, Harun Ar-rasyid banyak memipin  pertempuran melawan Kekaisaran RomawiTimur, karna selalu menjadi pemimpin dalam setiap pertempuran dan keberhasilannya beliau berhasil memperoleh gelar Jendral dengan sebutan `Al-Rasyid` (yang mengikuti jalan yang benar, atau orang yang benar). Dia juga tunjuk sebagai Gubernur Armenia, Azerbaijan, Suriah dan Tunisia, yang diberikan yahya untuknya. Kemudian Harun Ar-rasyid diangkat menjadi khalifah pada tanggal 14September ( 15 Rabi’ul Awal 170 H) tepat pada bulan kematian saudaranya `Hadi` yang meninggal secara misterius di tahun  786.
Harun Ar-rasyid menjadi khalifah ketika ia hampir mencapai usia 21 tahun. Harun membangun istana di kota Bagdad, ia membangun istana jauh lebih megah dan indah dari khalifah yang ada pada saat itu. Disana lah ia membangun istananya dan hidup ddalam kemuliaan besar yang memiliki ratusan abdi dan budak.
Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang adil dan sangat peduli kepada rakyatnya hal ini dibuktikan dari tindakan beliau yang selalu ingin tahu keadaan rakyatnya, terkadang ia menyamar dimalam hari dan berada di pasar atau jalanan untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang lewat disekitar dan bertanya pada penduduk mengenai keadaan kepemimpinannya dengan cara ini lah ia dapat mengetahui apakah rakyatnya puas atau tidak atas kpemimpinannya.
Meskipun masa pemerintahan khalifah Harun Ar-rasyid membawa kondisi yang aman dan tidak ada pemberontakkan besar, ada juga pemberontakan lokal. Diawal pemerintahan Harun Ar-rasyid timbul masalah di Mesir, Suriah, Mesopotamia, Yaman, dan Daylam (selatan Laut Kaspia).
Ada beberapa kejadian pada masa kepemimpinan Harun Ar-rasyid yaitu: Pada tahun 795M Harun meredam pemberontakkan Syiah dan memenjarakan Musa Al-Kazim, Pada tahun 796M Harun memindahkan Istana dan pusat pemerintahan dari bagdad ke Ar-raqqah, Pada tahun 800M Harun mengangkat Ibrahim Ibnu Al-Aghlab sebagai Gubernur Tunisia, Pada tahun 802 M Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne sebagai hadiah diplomatik, Pada tahun 803 M Harun memecat Yahya Bin Khalid sebagai Perdana Mentri karna korupsi.

A.      Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Pemerintahan Harun Ar-Rasyid dalam Membangun Peradapan Islam 
Berangkat dari sikap Harun Ar-Rasyid yang begitu ingin menyejah terakan rakyat, maka ia memberikan apapun untuk rakyat. Seperti keadaan aman ia pu berikan. Sehingga membuat para saudagar, pedagang, kaum pelajar, maupun rakyat biasa.
Untuk meningkatkan kesejah teraan rakyat dan negara, Harun Ar-Rasyid memajukan sebuah bidang perekonomian, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibukota Abbas sebagai pusat perdagangan terbesar dean terkenal didunia. Pada saat itu banyak terjadi pertukaran barang dan jual beli di berbagai penjuru. Dengan demikian negara banyak memperoleh pendapatan dan keuntungan dari kegiatan perdagangan tersebut.
Gedung-gedung dan tempat peribadatan serta tempat pendidikan mulai di bangun di Baghdat. Harun Ar-Rasyid membiayai pembangunan pendidikan dibidang penerjemahan dan penelitian. Dibangun juga istana megah disana yang bernama istana Al-Khuldi.
Beberapa bidang yang di kembangkan oleh Harun Ar-Rasyid, sebagai berikut:
a.       Bidang pengembangan ilmu pengetauhan
Harun Ar-Rasyid memperbesar departemen studi ilmiah dan penerjemahan yang didirikan oleh kakeknya al mansyur. Sehingga membuat bagdad menjadi pusat yang menarik orang-orang terpelajar di seluruh dunia.[1]
b.      Bidang kesusastraan
Yang telah menjadikan Harun Ar-Rasyid menjadi terkenal adalah bukunya yang berjudul 1.001 malam, yang telah menduduki tempat teratas dalam bidang kesusastraan dunia.
c.       Bidang hubungan luar negri
Khalifah Harun Ar-Rasyid telah membangun kerjasama dengan beberapa negara timur dan barat. Dialah kholifah utama yang menerima para duta besar di istananya. Seperti duta besar yang di utus kaisar cina dan pengusaha prancis.
d.      Bidang kesehatan
Harun Ar-Rasyid mendirikan rumah sakit dan lembaga pendidikan dokter serta farmasi. Pada saat itu tardapat 800 dokter.[2]
Setelah Harun Ar-Rasyid meninggal, daulah Abbasiyah lambat taun mengalami kemunduran akibat banyaknya gejolak politik yang muncul. Belum lama meninggalnya Harun Ar-Rasyid, terjadi perang saudara antara Al Amin dengan Al Ma`mun. Al Amin yang merupakan saudara tiri Al Ma`mun sudah diunjuk oleh ayahnya, Arasyid, sebagai kholifah yang akan menggantikan. Sedangkan Al Ma`mun sudah di tunjuk di kurasan sebagai gubernur dan di beri kesempatan untuk mengganti saudaranya sebagai kholifah dalam kesempatan berikutnya.
Karna dengan adanya perkembangan ilmu pengetauhan yang begitu sangat pesat, baik ilmu pengetauhan keagamaan maupun ilmu pengetauhan non keagamaan, akhirnya Harun Ar-Rasyid membangun sebuah riset ilmu pengetauhan yang di beri nama Baitul Hikmah
Nama Baitul Hikmah diambil dari kata ha-ka-ma- yang artinya bijaksana. Dari kata ini juga keluar isitlah Hakim (orang yang bijaksana). hal itu dikarenakan dalam Islam, seorang ilmuan bukan hanya orang yang melihat alam dari luar, tetapi dia adalah orang bijak (man of wisdom) yang melihat alam dari dalam dan menyatukan antara ilmu pengetahuan yang dia dapat ke dalam pokok-pokok dasar segala sesuatu. Jadi inti dari seorang ilmuan bukanlah terpaku pada pengetahuan untuk mencari ilmu pengetahuan, tetapi realisasi dari dasar-dasar pokok itu untuk menyerap ciptaan Tuhan dan keteraturan alam yang menunjukkan kebijaksanaan Tuhan.
Pada waktu itu, Baitul Hikmah adalah bangunan yang terdiri dari berbagai ruangan. Setiap ruangan terdiri dari tempat buku (khazanah) yang diberi nama sesuai nama pendirinya seperti Khazanah Ar-Rasyid dan Khazanah Al-Makmun. Bangunan yang menyatu dengan istana khalifah itu pun memiliki berbagai divisi, ada divisi untuk menyimpan buku, menerjemah, mencetak, menulis, menjilid, dan meneliti. Singkatnya, Baitul Hikmah benar-benar menjadi tempat ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Bahkan, dalam perjalanannya, tempat tersebut bukan hanya berupa gudang buku sebagaimana terjadi pada perpustakaan zaman sekarang, tetapi berubah menjadi universitas (al-jami’ah). Dari tempat tersebut, lahir berbagai riset dan karya ilmiah yang sangat berharga. Bahkan, tempat tersebut pun menjadi tempat observasi bintang.
Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika. Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Sedangkan karya-karya satra diambil dari Persia.
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang ilmu eksakta saja, ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh dan sebagainya, juga mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, seperti Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun. Mereka adalahorang-orang yang belajar di Baitul Hikmah dan mereka sangat berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga Barat dan Eropa.
Setelah meninggalnya Harun Ar-Rashid, pemeliharan Baitul Hikmah kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Ma’mun. Perkembangan dan kemajuan yang dilakukannya tidak kalah dengan pendahulunya, di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah terus mengalami kemajuan. Al-Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh dunia Islam untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di perpustakaan ini. Ketertarikannya terhadap filsafat juga mendorongnya melakukan terjemah besar-besaran terhadap karya-karya dari Yunani.
Baitul Hikmah terus mengalami perkembangan baik di masa Al- Makmun maupun Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Namun mengalami kemerosotan di masa Al-Mutawakkil, dan kemudian musnah pada masa Al-Musta’shim akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu Genghis Khan, pada tahun 1258. Hal tersebut ditandai dengan kehancuran Baitul Hikmah. Bangunannya diratakan dengan tanah, dan buku-bukunya dibuang ke sungai. Konon, warna air Sungai Tigris yang melalui Bagdad, berubah menjadi merah dan hitam selama seminggu. Merah dari darah para ilmuwan dan filsuf yang terbunuh, sedangkan hitam dari tinta buku-buku berharga koleksi Baitul Hikmah yang luntur setelah dibuang ke sungai itu.

B.       Peranan Baitul Hikmah dalam Membangun Sejarah Peradaban Islam
Berbagai naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan Mesir juga menjadi  perhatian. Banyak para ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu  pengetahuan adalah kelompok mawali atau orang-orang non arab, seperti Persia. Pada masa permulaan Dinasti Abasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah. Akan tetapi sejak masa pemerintahan Harun Ar Rasyid mulailah dibangun pusat-pusat pendidikan formal seperti Khizanatul Hikmah dan pada masa Al Ma’mun diubah menjadi Baitul Himah yang kelak dari lembaga ini melahirkan para sarjana dan para ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan bagi umat Islam. 
Pada masa Al Ma’mun ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual mengalami masa kejayaanya. Ia mendirikan Baitul Hikmah pengembangan dari Khizanatul Hikmahyang menjadi pusat kegiatan ilmu, terutama ilmu pengetahuan nenek moyang Eropa (Yunani). Pada masa itu banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selanjutnya model ini dikembangkan di Darul Hikmah Cairo kemudian diterima kembali oleh barat melalui Kordoba dan kota-kota lain di Andalusia. Khalifah Al Ma’mun lebih lagi melangkah, yaitu mengirim tim-tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab penting yang harus diterjemahkanya. Hal inilah salah satu yang menjadikan Islam mengalami kemajuan. Karena umat Islam bis mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang ada di penjuru dunia.
Disamping sebagai pusat penerjemahan, Baitul Hikmah juga berperan sebagai perpustakaan dan pusat pendidikan. Karena pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh ahlinya. Orang dengan mudah dapat  belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku.
Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan  penyebaran ilmu pengetahuan. Sehingga Baitul Hikmah selain menjadi lembaga  penerjemahan juga sebagai perpustakaan yang mengoleksi banyak buku. Pada masa ini berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan umum ataupun agama, seperti Al Qur’an, qiraat, Hadits, Fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu juga berkembang empat mazhab fiqih yang terkenal, diantaranya Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Imam Maliki ibn Anas pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i pendiri madzhab syafi’i dan Muhammad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali. Disamping itu berkembang pula ilmu-ilmu umum seperti ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, alam, geometri, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk kedalam Islam melalui terjemahan di Baitul Hikmah dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.

C.           Pilar Pembangunan Peradaban Islam
Seorang muslim yang merindukan pembangunan peradaban Islam, sebagaimana masa keemasannya harus mulai dimulai sejak sekarang dan di mulai dari diri sendiri yang kemudian memberikan nur (cahaya) ilmu pada umat.
Kholifah Harun Ar-Rasyid memberikan sebuah pilar-pilar dalam membangun sebuah peradaban Islam yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam dizamannya. Sebenarnya pilar peradaban Islam bertolak pada sebuah hadits rasulullah tentang Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar tersebut memunculkan bidang masing-masing, misalkan pilar “iman” melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam dan sebagainya berikut para ulama’nya seperti Imam Maturidy, Imam Hasan al Asy’ariy, dan sebagainya. Dari pilar “Islam” muncul ilmu figh atau syariah berikut para ulama’ fiqh seperti 4 mahdzab (Imam malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali). Dengan pilar inilah hukum-hukum Islam semakin jelas dalam tata cara pelaksanaannya dalam kehidupan. Dan dari pilar “Ihsan” berkembang ilmu akhlaq, atau ilmu tasawuf dengan sejumlah ulama’nya seperti Hasan al bashri, Junaid al Baghdadi, Imam Al Ghazali.[3] Oleh karena itu untuk membangun sebuah peradaban Islam yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.             Pilar Tauhid (Aqidah)
Keimanan menjadi yang utama dalam kehidupan, karenanya (iman) seseorang memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain – muslim  atau non muslim, kafir atau tidak. Jika seorang muslim memiliki aqidah yang benar kepada Allah, maka Allah akan memudahkan baginya untuk mampu memahami agama dengan benar. Jika keimanan seseorang salah terhadap Allah atau menduakan Allah, maka tentunya dalam setiap amalannya akan tertolak.
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
Secara terminologi “aqidah” yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang  menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah yang benar tidak mengagungkan akal diatas segalanya, sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh ilmuwan Barat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Dante Alighieri, dan kawan-kawannya. Ketika akal dipuja-puja maka yang terjadi adalah kebuntuhan ilmu dalam segala bidang dan matinya hati untuk mengenal Tuhannya. Dan menghilangkan eksistensi dirinya sebagai hamba dan khalifah.
Oleh karenanya aqidah kepada Allah harus diatas segalanya, sehingga Allah melindungi setiap amaliyah-amaliyah ibadah, sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah buat mereka hudan (petunjuk).”(al-Kahfi, 18:13)
2.             Pilar Ilmu (Syariah)
Muncul sebuah pertanyaan dari  Prof. Muhammad Naquib Al Attas yang diajukan kepada murid-muridnya, “kalian ingin menjadi Harun al Rasyid (Khalifah Abbasiyah paling terkenal) atau Abu Hanifah (salah seorang ulama’ mahdzab)?, siapa yang masih bisa “abadi” hingga sekarang?, tentu Imam Abu hanifah. Meski beliau pernah dipenjara dalam masa kekhalifahan Abbasiyah, tetapi hasil ijtihadnya dalam ilmu fiqh tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara Harun al Rasyid, ia memang pernah berjaya dalam satu fase peradaban Islam, tetapi hanya pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa jika peradaban berlandaskan kekuasaan akan mudah musnah dan tidak akan pernah bertahan lama, sedangkan jika peradaban yang berlandaskan pada ilmu akan bertahan lama sampai hari kiamat. Kekuasaan tentu penting, tetapi kekuasaan hanya bagian kecil dari peradaban Islam.
Karena peradaban juga dibangun berlandaskan ilmu, maka tidak setiap muslim tidak boleh meninggalkan ilmu, khususnya adalah ilmu agama yang sifatnya fardhu ‘ain dan juga ilmu-ilmu yang lain yang sifatnya fardhu kifayah. Sehingga yang sangat banyak berperan disini adalah lembaga pendidikan yang mampu mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Rasulullah diutus untuk urusan (ilmu) agama (umurid-din), sementara antum a’lamu liumurid-dunyakum. Jika urusan agama beres, maka urusan-urusan dunia (umurid-dunya) akan mengikutinya.
3.             Pilar Adab (Akhlaq)
Konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.”[4]
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dengan demikian, adab harus dimiliki oleh muslim yang akan membangun peradaban Islam. Adab pertama kali yang harus dimiliki adalah adab kepada Allah karena ketika kita sholat, mengaji tidak menggunakan adab yang benar kepada sang Khaliq, maka sia-sialah perbuatan kita, kedua adab kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah dan memberikan uswatun hasanah serta memberikan jalan terang pada kita untuk menikmati Islam sebagai agama rahmat lil ‘alamin. Sedangkan yang ketiga adalah adab kepada orang tua untuk selalu menjaga perasaan dan kasih sayang terhadapnya. Yang keempat, adab terhadap guru yang telah memberikan ilmu dengan segala kesabaran dan keikhlasannya. Kelima, adab terhadap sesama makhluk dan alam semesta yaitu menjaga tali silaturrahim, saling hormat menghormati, toleran, dan menjaga keberlangsungan hidup alam semesta.
Bahwa menurut Hasyim Asy’ari ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11). (Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya).
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan, terbukti jika seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu dan karakter baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan menghilangkan perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan. Namun jika seseorang memiliki aqidah kuat dan ilmu yang tajam, namun tidak memiliki adab maka akan terjadi penghancuran alam semesta dan kejahiliyahan yang akan berkuasa, sebagaimana bangsa Arab sebelum Rasulullah di utus. Sedangkan dengan Ilmu yang sedikit, walaupun akidah dan memiliki adab maka akan terjadi penyesatan terhadap umat manusia. Oleh karena itu tiga pilar peradaban tersebut perlu untuk dipegang dan dijalankan secara totalitas sehingga terwujud peradaban Islam yang baik dalam pan dangan para ulama` sufi. Sebuah peradapan akan maju kalau semua umat manusia memiliki akhlak yang baik, baik dari segi moral maupun tingkah laku.
Muhammad Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan kata “Tamadun”, yang berasal dari kata daana (ketaatan)-diinun (agama, hukum)-dainun (hutang). Sehingga muncul kata tamadun (peradaban) yakni sebuah tempat, region, atau city yang dikelola berdasarkan (aturan-aturan) agama. Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Kenapa Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya aturan-aturan agama yang didalamnya. [5]

D.      Sejarah dalam membangun Peradaban Islam
Dalam perjalanannya Harun Ar-Rasyid mengalami tantangan besar untuk menerapkan syariatnya dalam kehidupan manusia, namun pada akhirnya terbentuk pula komunitas Islam yang kuat dan tangguh dalam menjalankan aturan-aturan Allah. Keberlangsungan syariat tentunya tidak semulus dan sepanjang zaman untuk terus bertahan dijalankan oleh umat. Tantangan tersebut mulai dihadapi oleh umat ketika moral semakin merosot dengan budaya jahiliyah dan kesusasteraan jahiliyah mulai merusak peradaban Islam dengan pemikiran-pemikiran peradaban lainnya, khususnya aktivitas keilmuan dan filosofis yang dibawa dari budaya helenistik.
Tantangan-tantangan tersebut dihadapi oleh para cendekiawan muslim dan ulama’ dengan keluasan ilmu dan keikhlasan amal. Pakar Filsafat Islam Alparlan Acikgenc,[6] sampai pada kesimpulan bahwa intelektualitas pada abad pertama kemunculan Islam telah memiliki fondasi yang memadai yang disebut contextual causes untuk kebangkitan aktivitas keilmuan dan kemunculan tradisi keilmuan dalam Islam.
Kehadiran Harun Ar-Rasyid telah mampu membawa perubahan berfikir dan pandangan terhadap sendi-sendi kehidupan, khususnya tentang masalah kependudukan dan tanggungjawab manusia. Rasulullah dengan Al Quran telah memberikan motivasi dan penjelasan tentang tanggungjawab manusia terhadap moral dan relijius sebagai khalifah dimuka bumi dan alam semesta. Penjelasan Rasulullah tentang konsep wahyu menjadi awal kemunculan Islamic Worldview bagi umat dimasa kenabian yang kemudian memunculkan peradaban Islam dimasa setelahnya.
Pada dasarnya secara kronologis, asal usul kemunculan Islamic worldview dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: periode Mekah awal, periode Mekah kedua dan periode Madinah. Pada periode awal Mekah yang dibangun pertama adalah konsep dan isu teologi seperti konsep tauhid (Tuhan), konsep penciptaan, konsep etika, konsep akhirat, baik dan buruk. Konsep awal ini merupakan elemen fundamental dalam Islamic Worldview. Pada periode Mekah kedua mulai dibangun konsep ilmu, konsep ibadah, konsep agama dan kenabian. Sebenarnya konsep-konsep di periode kedua ini telah dimiliki oleh kaum muslimin awal (assabikunal awwalun) sebelum mereka masuk Islam. Setelah mereka menerima Islam, maka konsep mereka berubah menjadi konsep yang memiliki nilai-nilai keislaman dan keimanan pada Allah SWT. Sedangkan pada periode Madinah, konsep-konsep seperti hukum, jihad, persaudaraan, komunitas muslim (ummah) dipadukan dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah mereka terima dari al Qur’an, sehingga menjadi kesatuan ide yang menyeluruh dengan sebutan Islamic Worldview.
Alparslan menegaskan bahwa apabila sejarah intelektual Islam pada masa awal dipelajari secara teliti, maka akan terlihat benih dari beberapa ilmu telah tampak sejak masa Rasulullah terutama pada periode ketiga, seperti sejarah, hukum, kesusasteraan, grammar, filsafat, teologi, yang semuanya masih pada tahap awal. Pada akhir abad ke satu Hijriyah, kebanyakan pengetahuan tersebut telah terakumulasi dalam disiplin-disiplin ilmu dan berproses untuk menjadi ilmu atau sains.
Dari tiga periode tersebut, merupakan titik awal berkembangnya peradaban Islam yang ditandai dengan lahirnya ilmu pengetahuan Islam secara luas dan menyeluruh. Menurut Alparslan Pada periode awal Islam, ilmu (knowledge) mengacu pada dua hal, yaitu ‘ilm dan fiqh.’Ilm digunakan oleh Al Qur’an dan hadits untuk mengacu pada pengetahuan wahyu (revelead knowledge) yang pasti dan absolute. Sedangkan fiqh lebih bersifat keilmuan dan rasional.[7]













                                                                      BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Harun Ar-rasyid lahir di Rayy, Iran pada tahun 766, Harun Ar-rasyid adalah khalifah kelima dari kekhalifahan abbasiyah dan memerintah dari tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdikhalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah khalifah yang keempat. Ibunya bernama Jurasyiyah wanita mantan Al-Khayzuran, Beliau sangat memilik pengaruh yang besar terhadap Harun Ar-rasyid.
Beberapa bidang yang di kembangkan oleh Harun Ar-Rasyid, sebagai berikut:
a.       Bidang pengembangan ilmu pengetauhan
b.      Bidang kesusastraan
c.       Bidang hubungan luar negri
d.      Bidang kesehatan
peradaban Islam yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.     Pilar Tauhid (Aqidah)
2.    Pilar Ilmu (syariah)
3.    Pilar Adab (Akhlaq)
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan, terbukti jika seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu dan karakter baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan menghilangkan perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan.
B.       Kata Penutup
Demikian makalah sejarah peradapan islam yang berisi tentang HarunAr-Rasyid membangun universalitas peradapan islam yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kritik dan saran sangat penulis harapkan guna memperbaiki makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya pembaca. Amin.


[1] Imam fu`adi, sejarah peradapan islam, (yogyakarta: Teras,2011) hal. 130-131
[2] Yusufamrullah23.blogspot.in/2014/harun ar-rasyid.html?m=1 diakses tanggal 10 juni 2015
[3] http:/jurnal pemikiran dan peradapan. Blogspot.com ilmu dan bangunan peradapan islam. Html diakses pada   tgl 10 juni 2015
[4] Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001), hlm
[5] Ugi Suharto, Peradaban Islam itu di Bangun di Atas Landasan Ilmu, (Majalah al Haromain edisi 86).hal 10-11.
[6] Adian Husaini et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, GIP, (Jakarta, 2013). Hal 19.
[7] Alparslan Acikgenc,Islamic Science, hlm.76